Ini adalah buku inspiratif pertama yang aku baca ketika mendudukin bangku kuliah, dimana biasannya aku selalu membaca novel-novel bertema remaja maupun romantis.
Novel karya Iwan Setyawan ini benar-benar memberikan inspirasi yang tinggi untuk remaja seperti aku, baik dalam cerita kehidupannya dan perjuangannya. Dan pada akhirnya, cinta keluargalah yang menyelamatkan semuanya.
Di kaki Gunung Panderman, di rumah berukuran 6 x 7 meter, seorang anak laki-laki bermimpi. Kelak, ia akan membangun kamar di rumah mungilnya. Hidup bertujuh dengan segala sesuatu yang terbatas, membuat ia bahkan tak memiliki kamar sendiri. Bapaknya, sopir angkot yang tak bisa mengingat tanggal lahirnya. Sementara ibunya, tidak tamat Sekolah Dasar. Ia tumbuh besar bersama empat saudara perempuan. Tak ada mainan yang bisa diingatnya. Tak ada sepeda, tak ada boneka, hanya buku-buku pelajaran yang menjadi “teman bermain”-nya. Di tengah kesulitan ekonomi, bersama saudara-saudaranya, ia mencari tambahan uang dengan berjualan di saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar. Pendidikanlah yang kemudian membentangkan jalan keluar dari penderitaan. Dan kesempatan memang hanya datang kepada siapa yang siap menerimanya. Dengan kegigihan, anak Kota Apel dapat bekerja di The Big Apple, New York. Sepuluh tahun mengembara di kota paling kosmopolit itu membuatnya berhasil mengangkat harkat keluarga sampai meraih posisi tinggi di salah satu perusahaan top dunia. Namun tak selamanya gemerlap lampu-lampu New York dapat mengobati kenangan yang getir. Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi dan menghadirkan seseorang yang membawanya menengok kembali ke masa lalu.
Novel karya Iwan Setyawan ini benar-benar memberikan inspirasi yang tinggi untuk remaja seperti aku, baik dalam cerita kehidupannya dan perjuangannya. Dan pada akhirnya, cinta keluargalah yang menyelamatkan semuanya.
Di kaki Gunung Panderman, di rumah berukuran 6 x 7 meter, seorang anak laki-laki bermimpi. Kelak, ia akan membangun kamar di rumah mungilnya. Hidup bertujuh dengan segala sesuatu yang terbatas, membuat ia bahkan tak memiliki kamar sendiri. Bapaknya, sopir angkot yang tak bisa mengingat tanggal lahirnya. Sementara ibunya, tidak tamat Sekolah Dasar. Ia tumbuh besar bersama empat saudara perempuan. Tak ada mainan yang bisa diingatnya. Tak ada sepeda, tak ada boneka, hanya buku-buku pelajaran yang menjadi “teman bermain”-nya. Di tengah kesulitan ekonomi, bersama saudara-saudaranya, ia mencari tambahan uang dengan berjualan di saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar. Pendidikanlah yang kemudian membentangkan jalan keluar dari penderitaan. Dan kesempatan memang hanya datang kepada siapa yang siap menerimanya. Dengan kegigihan, anak Kota Apel dapat bekerja di The Big Apple, New York. Sepuluh tahun mengembara di kota paling kosmopolit itu membuatnya berhasil mengangkat harkat keluarga sampai meraih posisi tinggi di salah satu perusahaan top dunia. Namun tak selamanya gemerlap lampu-lampu New York dapat mengobati kenangan yang getir. Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi dan menghadirkan seseorang yang membawanya menengok kembali ke masa lalu.